Sejarah: Kajian Tentang Hambatan dan Kemudahan serta Peranan Peneliti Indonesia dalam Melakukan Penelitian di Sangiran dan Trinil

by - September 01, 2017


Tugas:    Melakukan Kajian tentang Hambatan dan Kemudahan serta Peranan Peneliti Indonesia dalam Melakukan Penelitian di Sangiran dan Trinil.
Situs sangiran ditemukan oleh ahli paleontologi G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1934 melalui artefak yang ditinggalkan Homo erectus di Desa Ngebung, Sangiran. Saat itu von Koenigswald ditugaskan Belanda untuk menyusun biostratigrafi Jawa berdasarkan fosil mamalia. Penggalian yang dimulai pada tahun 1936 lalu menemukan fosil-fosil Homo erectus. Penemuan demi penemuan pun terjadi terus sampai dasawarsa terakhir ini, membuktikan bahwa Sangiran adalah situs Homo erectus yang sangat penting.
       Penjelasan tentang Sangiran dimulai dengan menerangkan stratigrafi daerah Sangiran yang di salah satu formasinya ditemukan banyak fosil Homo erectus. Lapisan terbawah di Sangiran disusun oleh lempung biru Formasi Kalibeng berumur Pliosen Atas (2,4 Ma) berlingkungan pengendapan laut (dalam). Pengangkatan tektonik yang disertai aktivitas volkanik mengubah lingkungan Sangiran menjadi lingkungan rawa. Ini terjadi pada batas Plio-Pleistosen (1,8 Ma). Breksi lahar menandai peristiwa ini, yang diendapkan di atas lempung Kalibeng. Selama sebagai rawa, di Sangiran diendapkan lempung hitam Formasi Pucangan yang berlangsung sampai 0,9 Ma. Fosil paling tua ditemukan di bagian atas endapan ini berumur 1,0 Ma. Pasti Homo erectus yang lebih tua daripada ini ada sebab artefaknya yang berumur 1,2 Ma telah ditemukan. Antara 0.9-0.7 Ma, di sekitar wilayah Sangiran terjadi pengangkatan kembali; daerah ini kemudian tererosi dan mengendapkan bahan rombakannya ke wilayah Sangiran berupa pecahan gamping dan materi volkanik yang terkenal disebut lapisan Grenzbank (lapisan pembatas) sebab lapisan ini membatasi antara Formasi Pucangan di bawahnya dengan Formasi Kabuh di atasnya. Setelah 0,7 Ma, wilayah Sangiran merupakan daerah penampung endapan volkanik hasil letusan gunungapi-gunungapi di sekitarnya (Lawu-Merapi-Merbabu purba). Sangiran saat itu telah menjadi daratan. Di dalam Formasi Kabuh-lah banyak ditemukan fosil Homo erectus dengan umur 700.000-300.000 tahun. Pada 0,25 Ma diendapkan lagi breksi lahar yang mengakhiri Formasi Kabuh. Letusan volkanik masih terus terjadi sampai menjelang Resen, mengendapkan pasir volkanik Formasi Notopuro.
     Fosil hominid tertua yang ditemukan di Sangiran saat ini berumur 1 M, tetapi artefaknya telah ditemukan di lokasi Dayu (masih di Sangiran) dan berumur 1,2 Ma. Artinya, masih mungkin terdapat Homo erectus yang lebih tua daripada 1 Ma. Berdasarkan semua fosil Homo erectus yang telah ditemukan di Sangiran dan sekitarnya (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi), Pak Harry Widianto menyatakan bahwa Homo erectus di Sangiran ini bisa dikelompokkan menjadi tiga subspesies mengikuti penemuannya di lapisan tertua-termuda. Dari tua ke muda adalah : (1) Homo erectus arkaik -Plistosen Bawah 1,5-1,0 Ma ditemukan di bagian atas Formasi Pucangan, (2) Homo erectus tipikal -Plistosen Tengah 0,9-0,3 Ma ditemukan di seluruh Formasi Kabuh, dan (3) Homo erectus progresif -Plistosen Atas 0,2-0,1 Ma ditemukan di Formasi Notopuro. Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran, tetapi di wilayah2 lebih hilir dari Sangiran (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi).
    Mengapa Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran ? Karena tak lama setelah pengendapan Notopuro, terjadi mud volcanism di Sangiran, sehingga subspesies selanjutnya bermigrasi ke wilayah lebih hilir dan ditemukanlah fosil-fosilnya di sana, termasuk yang pertama kali ditemukan Dubois di Trinil.
Jelajah Situs Purba di Trinil 
Ratusan tahun silam di Tanah Jawa, tepatnya di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo, sebuah sejarah besar tentang manusia purba terkuak.

Dari penggalian yang dilakukan Eugene Dubois, seorang dokter berkebangsaan Belanda ditemukan beberapa pecahan batu. Mulai dari gigi geraham, tulang paha, tengkorak manusia purba dan binatang.Upaya Dubois tidak bisa dibilang asal-asalan. Dirinya waktu itu, tertantang dengan teori Human Origin, yang dikemukakan Charles Robert Darwin (1809-1882). Dalam teori itu menyatakan bahwa manusia ini berasal dari evolusi kera.
Berdasar teori Human Origin, Dubois meninggalkan negeri kincir angin menuju Indonesia pada tahun 1887. Selain itu ada dua alasan yang dijadikan acuannya kali ini. Pertama, berdasarkan buku The Descent of Man, menceritakan bahwa nenek moyang manusia seharusnya hidup di daerah tropis. Karena manusia purba sudah kehilangan bulu selama perkembangannya.
Alasan kedua, di Hindia-Belanda (Indonesia) banyak gua-gua, jadi tak mustahil akan ditemui fosil-fosil atau bekas kehidupan manusia purba.
Beberapa teori dan alasan itulah Eugene Dubois, bertekad untuk membuktikan penelitiannya dengan menggali di beberapa daerah. Khususnya yang ada di Pulau Jawa di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. Namun, sebelumnya Dubois meneliti di Payah Kumbuh, Sumatera, tahun 1887.
 Sejarah Penelitian Manusia Purba
Sejak awal dicetusan teori evolusi. Kepulauan Indonesia telah menjadi daya tarik sendiri bagi pemburu fosil the missing-link. Tidak saja karena disebut-sebut oleh A.R. Wallace sebagai salah satu tempat yang sangat mungkin menyimpan fosil the missing-link, tetapi juga karena Indonesia sudah terbukti menghasilkan fosil-fosil hewan purba. Kekayaan fosil hewan purba di Indonesia dietahui oleh para ahli Eropa dari Raden Saleh dan F.W. Junghuhn.
Raden Saleh adalah maestro seni lukis Indonesia yang akrab dengan orang Eropa. Selain melukis ia juga senang mengumpulkan benda-benda yang unik, termasuk fosil hewan purba dari sangiran yang ketika itu dikenal oleh masyarakat sebagai “balung buto” (tulang manusia raksaksa). Kadang Raden Saleh menunjukkan fosil koleksinya kepada orang Eropa, sehingga diketahui pula oleh para ilmuan disana.


F.W. Junghuhn adalah seorang ahli ilmu hayat yang banyak menjelajahi hutan belantara dan tempat-tempat terpencil di Indonesia yang kaya akan hewan dan tanaman. Ketika berada di Jawa, ia pernah singgah ke situs Patiayam, dekat Kudus, dan Kedungbrubus, dekat Sragen, yang dilaporkan banyak mengandung fosil
1931-1943
Tahun 1931, perburuan manusia purba di Indonesia meningkat kembali dengan kedatangan G.H.R. von Koenigswald, ahli paleontology dari Jerman yang menjadi pegawai di Jawatan Geologi Bandung. Koenigswald di bantu oleh W.F.F. Oppenoorth, C. Ter Haar, dan van Es juga meneliti situs-situs di Perning (dekat Mojokerto), Ngandong ( dekat Blora), dan Punung (dekat Pacitan).
Tahun 1931, di situs Ngandong ditemukan fosil tengkorak Pithecanthropus Soloensis ( Homo erectus Soloensis) oleh ter Haar dan Oppenoorth. L.C.J van Es memetakan situs Sangiran pada tahun 1932.

Gustav Heinrich Ralp von Koenigswald, berasal dari Jerman, tatapi kemudian menjadi warga Negara Belanda. Dua tahun setelah ia menamatkan kuliahnya di bidang geologi dan paleontology, ia bekerja di museum namun akhirnya ia putuskan untuk berangkat ke Indonesia (Hindia Belanda) karena pemerintah membutuhkan tenaganya. Ia tertarik pada evolusi manusia purba karena pengaruh ahli antropologi terkenal Rudolf Martin yang tidak lain adalah teman ayahnya.
KESULITAN-KESULITAN SAAT MELAKUKAN PENELITIAN
1.              FAKTOR GEOGRAFIS
             Faktor geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi  peroses penelitian yang dilakukan oleh para peneliti saat meneliti fosil-fosil atau peninggalan zaman  purba. Hal ini karena letak penelitiannya merupakan tempat yang terpencil yg cukup sulit untuk dijangkau.
2.              PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
              pada saat dahulu, saat dilakukan penelitian belum ditemukan teknologi seperti sekarang ini yang memudahkan dalam melakukan penelitian. Peralatan yang digunakan belum secanggih sekarang.
ž   Banyak bagian-bagian dari fosil yang hilang. Sehingga menyulitkan peneliti  untuk meneliti lebih dalam tentang penemuannya. Faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi karena lamanya fosil tertanam di dalam tanah, sehingga termakan usia. Selain itu juga disebabkan karena bencana alam.
Kemudahan Dalam Melakukan Penelitian
ž   Kemudahan terjadi karena kerjasama para peneliti yang sangat baik. Sehingga bisa sukses mendapatkan berbagai macam fosil. Yang merupakan bukti peninggalan kehidupan di zaman manusia purba.
ž   Kecerdasan para peneliti juga berperan penting dalam proses penemuan fosil



(Power Point) Sejarah: Kajian Tentang Hambatan dan Kemudahan serta Peranan Peneliti Indonesia dalam Melakukan Penelitian di Sangiran dan Trinil
Dapat dilihat dan didownload disini
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cara download:
1. Klik tulisan 'disini' di atas
2. Silang laman yang tidak perlu, tunggu loading sebentar
3. Tekan 'Skip Ad'
4. Download file drive di tanda unduh (panah ke bawah ↓) di pojok kanan atas laman google drive
5. Selesai, tinggal cek di folder download

❤❤❤
Fina Sarah Adhari
Ig: finasaadha
Twitter: finasaraha_13

    You May Also Like

    0 comment

    What do you think about this post?