Mika, My Bestfriend
Mika,
My Bestfriend © Fina Sarah Adhari
Inspirated
by the song Breathe by Taylor Swift
This story is pure mine, don’t copy, don’t
flame!
Namaku
Rila, saat ini aku bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di sebuah
kota kecil. Aku sangat beruntung karena memiliki seorang sahabat yang sangat
kusayangi dan aku yakin dia juga menyayangiku. Kami bertemu saat kelas 8 SMP,
dia sangat baik dan aku nyaman dekat dengannya. Aku juga berteman baik dengan
beberapa teman di kelas, tapi hanya dia yang paling dekat denganku, namanya
Mika. Sangat lucu mengingat nama kami yang sama-sama terdiri dari empat huruf dan
posisi huruf vocal yang sama.
Hingga
kelas 1 SMA ini, aku masih bersahabat dekat dengannya. Kami selalu melewati
segalanya bersama, aku sendiri tidak percaya bagaimana aku bisa sekuat ini
dengannya.
“Rila,
nanti sore temani aku ke taman baca ya, aku mau pinjam buku.” Oh itu dia, gadis dengan rambut tebal sepunggung
berwarna hitam, Mika.
“Ya,
pasti aku temani.” Aku menyutujui ajakannya karena aku juga ingin meminjam
buku. Dia pasti ingin membaca banyak novel dan menonton banyak film, ini karena
ujian semester baru saja selesai, memangnya siapa yang mau menyianyiakan
liburan?
“Aku
juga mau minta film yang terbaru di Zusha, temani aku ke kelasnya ya. Ahh,
akhirnya semester selesai juga!” dia meregangkan otot tangannya seperti baru
bangun tidur. Oh dia selalu seperti itu, dan apa yang ku katakan tadi benar,
kan?
***
Akhirnya
aku sampai di rumahku, saat ini sudah pukul tujuh malam, huh, quality time-ku dengan Mika memang
selalu menyenangkan.
Aku
berbaring di ranjangku untuk mengistirahatkan diri—setelah sebelumnya mandi—
dan tak lama setelahnya aku tertidur pulas.
“Hoam…”
aku terbangun, dan ketika kulihat jam menunjukkan pukul dua belas lebih
beberapa menit—aku malas memerhatikannya. Kemudian aku melihat ke atap kamarku
yang memakai kaca, langit masih gelap dan ini berarti masih tengah malam. Padahal,
rasanya seperti aku sudah tidur seharian.
Aku
duduk di tepi ranjangku dan melihat kembali foto-fotoku dengan Mika tadi sore,
uh, kami seperti kembaran saja. Kembar tapi tak sama, hahaha. Senyumku pudar
saat melihat foto terakhirku dengannya, dia tampak berbeda. Itu membuatku sedih
dan takut. Selanjutnya aku memilih untuk menulis diary tentang hari ini, aku
mencoba menghilangkan rasa takutku tentang foto terakhirku dengan Mika.
Aku
menulis banyak hal tentang kami, jangan berfikir aku yuri (istilah cewek suka cewek dari Jepang) karena kalian salah
besar. Aku dan dia sama-sama normal, aku juga punya seorang cowok yang aku suka
sejak kelas 8 SMP, sementara Mika sudah punya pacar –seorang cowok pastinya.
Aku
hanya sangat menyayanginya, dia cukup berjasa bagi hidupku, karena aku ini
sebenarnya anak yang pemalu, tetapi dengannya yang cukup tak tahu malu, aku
menjadi agak berani, hehehe. Ah, sial, aku jadi terbayang wajah Mika di foto
itu, sangat membuatku takut, tidak-tidak, dia tidak berpose seperti zombie atau
dia mengeluarkan darah dari matanya, tidak seperti itu. Sebenarnya dia
tersenyum, tapi—
“Cause
I’m happy clap along if you feel—” aku mengambil hpku dan menggeser tombol ‘answer’
di layar smartphone kesayanganku. Nama si penelpon yang tertera di layar hpku
adalah Vibi, dia adalah tetangga Mika, rumahnya berbatas lima rumah dengan
rumah Mika. Yang membuatku bingung adalah apa maksudnya menelfonku tengah malam
begini, kulihat jam lagi dan ini sudah hampir pukul dua malam—dini hari.
“Halo.” Aku dengar suaranya panik. Dan selanjutnya
aku tak sanggup untuk bernafas dan kucoba baringkan tubuhku di ranjang. Oh ayolah,
aku sudah temukan jawaban dibalik perasaan takutku saat melihat foto terakhirku
dengan Mika.
“Rila, kuharap kau bersabar menerima kabar
ini, dan aku bersumpah ini adalah kabar teburuk yang pernah kau dengar sampai
saat ini…. Rumah Mika… terbakar, diduga karena kompor yang meledak dan saat ini
sedang dipadamkan oleh tiga mobil pemadam kebakaran, untung apinya tidak
merambat ke rumah lain karena lebih dulu dipadamkan. Tapi, ini sangat buruk,
Mika dan keluarganya masih di dalam rumah!”
Itu
pasti Mika yang sedang memasak air untuk membuat kopi, ia biasa membuat kopi
untuk menemaninya membaca buku. Buruknya, dia sering bercerita padaku bahwa dia
sering tertidur ketika sedang memasak air. Tapi aku tak menyangka, kejadian
kali ini benar-benaar membawa petaka baginya. Ini memang takdir Tuhan, itu
memang sudah waktunya Mika untuk pergi. Tapi apa yang bisa kulakukan? Pergi ke
rumahnya sekarang? Tak mungkin karena rumahku dan rumahnya sangat jauh. Yang aku
bisa lakukan saat ini adalah berdoa kepada Tuhan.
Jadi
inilah kenapa aku takut melihat foto terakhirku dengan Mika, walaupun kami
berdua tersenyum di foto itu, tapi itu adalah foto terakhirku dengannya, dan
tak akan ada lagi.
Ini
sangat sulit bagiku, sampai-sampai rasanya aku tak bisa bernafas. Tapi aku
harus tetap bernafas, bersama atau tidak bersama Mika.
***
FIN
0 comment
What do you think about this post?