Makalah Fikih: Ijtihad

by - August 04, 2017



BAB I
                                                PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang
Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakkan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter dan ruang lingkup sendiri. Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh. Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang sempit; ia mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan ekonomi. Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Sekarang, dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah diperluas untuk menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh para ahli yang berkompeten dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis) sehingga ia dapat diberlakukan menjadi perundang-undangan; kalau tidak ia akan tetap tinggal bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli dan pemerintah akan terus berlangsung.  Karena ijma’ memantapkan dirinya hanya secara bertahap dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan jalannya waktu. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menyajikan mengenai ijtihad dalam hukum Islam.
B.              Rumusan Masalah
1)             Apa itu ijtihad ?
2)             Apa saja syarat untuk menjadi seorang mujtahid ?
3)             Bagaimana kedudukan ijtihad dalam hukum islam ?
C.            Tujuan Pembahasan
1.              Untuk mengetahui apa itu ijtihad dan syarat menjadi seorang mujtahid.
2.              Agar bisa memahami bagaimana cara penetapan hokum bagi suatu permasalahan.
3.              Agar dapat mengetahui sumber hokum islam selain Al-Qur’an dan Assunnah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang artinya mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban.Menurut bahasa, ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah ialah mencurahkan pikiran dan tenaga untuk menetapkan sebuah hukum. Oleh sebab itu, tidak bisa dinamakan ijtihad jika unsur-unsur kesulitan di dalam sebuah pekerjaan itu tidak ada.Sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis adalah Ijtihad.
Sedangkan di kalangan ulama ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh sungguh dari seorang ahli hokum (fuqaha) untuk mengetahui hokum syariat islam. Jadi dengan demikian ijtihad adalah perbuatan menggali hokum syar’iyyah dari dalil dalilnya yang terperinci dalam syari’at.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui ataumenetapkan hokum syari’at.

B.            Hukum Ijtihad
Menurut Syeikh muhamad Khudlari bahwa hokum ijtihad itu dapat di kelompokkan menjadi :
a.              Wajib a’in,yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.              Wajib kifayah,yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya,sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hokum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu orang telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya,maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.              Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.


C.            Peranan Ijtihad

Banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Assunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat Al-Qur’an maupun assunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini,antara lain :
Firman Allah SWT dalam (QS.An-nisa /4 : 10)
Artinya :
 “Sungguh,kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an)  kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran,agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan allah kepadamu.”
Ijtihad memiliki peranan yang sangat pentingdalam penetapan status hokum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam alqur’an maupun assunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat di pecahkan karena tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya. Seperti tentang niat shalat. Para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa niat. Mazhab maliki dan syafi’I menetapkan bahwa niat merupakan salah satu syarat sah shalat.
Hasil ijtihad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya mungkin berbeda. Hal ini antara lain disebabkan adanya perbedaan sudut pandang terhadap masalah yang dicarikan hukumnya,kondisi masyarakat,dan latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki berbeda


D.            Syarat Syarat Bagi mujtahid
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap oang. Seseotang dipebolehkan melakukan ijtihad bila syarat syarat dipenuhi. Syarat syarat tersebut terbagi menjadi dua yaitu syarat umum dan syarat khusus dan syarat pelengkap.
a.              Syarat umum
1)             Baligh
2)             Berakal sehat
3)             Memahami masalah
4)             Beriman
b.              Syarat khusus
1)             Mengetahui ayat ayat alQur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis,yang dalam hal ini ayat ayat ahkam,termasuk asbabun nuzl,musytarak dan sebagainya.
2)              Harus mampu menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya seperti ilmu nahwu, syaraf, bayan, balaghah,’urudh,dan qawafi. Karana setiap mujtahid itu dasar hukumnya mengambil langsung dari Alqur’an yang berbahasa arab untuk bias mengetahui apa yang terkandung di dalam kalamullah tsb. Dan mustahil bagi seseorang  bisa menguasai ilmu tersebut jika tiada cerdas otaknya.
3)             Harus mampu memilah-memilahkan  ayat alquran dan mahir dalam menentukan yang mana diantara ayat-ayat tersebut yang umum sifatnya,yang khusus,yang mujmal, yang mubayyan,yang mutlak,yang muqayyat,yang zahir, yang nash, yang mansukh, yang nasikh,yang muhakkam, yang mutasyabihah dan yang lain-lainnya.kalau dia tiada cerdas dan pintar.
4)             Harus mampu ketika berijtihat terbayang tentang isi kandungan 30juz dari alquran, yang mana di dalam alquran tersebut ada perintah larangan, berita, dan hukum. Karna jika dia tiada tau bahwa itu adalah mengandung cerita tapi di buatnya menjadi sebuah hukum hancurlah seluruh prilaku sendi-sendi kehidupan manusia.
5)              Harus mengetahui asbabul nuzul ayat, karna setiap ayat turun itu mempunyai kejadian yang terjadi di masa rasul, bukan di turunkan sekaligus 30 juz, karna turunnya ayat untuk menjawab situasi yang terjadi di sekeliling rasul,maka jika seseorang  tiada mengetahui asbabul nujul tersebut mustahil dia bisa berfatwa dengan benar, seumpamanya.
6)             Harus menguasai kitabussittah sekurang-kurangnya.yaitu shahih bukhari,muslim,turmizhi, sunan nasai, sunan abi daun, dan sunan ibnu majjah, selain itu juga masih banyak lagi hadis-hadis yang lain seperti musnad ibnu hambal, daraqudni,ibnu hibban. Thabrani dllnya.
7)             Harus bisa mengetahui pangkat setiap hadis-hadis yang terdapat di berbagai kitab-kitab hadis yang ada , mana hadis yang palsu yang di buat oleh musuh islam, atau mana yang shahih, yang dhaif, dllnya.
8)             Harus mengetahui mana saja hukum yang telah sepakat para ulama. Karna jika telah sepakat para ulama dalam satu masa maka telah meluaslah paham-paham mereka dan telah banyak di terbitkan kitab-kitab mereka jika berlainan maka bisa terjadi kekacauan.
9)             Mengetahui ilmu mantiq.

c.              Syarat-syarat Pelengkap
Diantara syarat pelengkap yang dimaksud adalah:
1.              Tidak ditemukan dalil qat’i dalam suatu kasus hukum, baik berupa dalil nas atau ijma’ atau masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
2.              Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama.
3.              mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak

E.            Tingkatan Tingkatan Mujtahid

a.    Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil

Mujtahid Mustaqil adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka mempunyai otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan metode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqaha dari kalangan sahabat, fuqaha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqaha mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsauriy, dan Abu Tsaur. Namun yang mazhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

b.    Mujtahid Muntasib

Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (mujtahid dari mazhab Syafi’i), at-Tahawi (mujtahid dari mazhab Hanafi), al-Khiraqi (mujtahid dari mazhab Hambali) dan Abdurrahman ibnu Qosim (mujtahid dari mazhab Maliki).

c.    Mujtahid Mazhab

Mujtahid Mazhab ialah mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik dalam masalah ushul ataupun furu’. Peranan mereka sebatas melakukan istinbat hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid mazhab tidak berhak berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam mazhab yang dipegangnya. Menurut mazhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid mazhab. Misalnya, adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul Hasan adalah mujtahid mazhab hanafi dan Imam al-Muzani adalah mujtahid mazhab syafi’i.

d.    Mujtahid Murajjih

Mujtahid Murajjih yaitu mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum asal) akan tetapi hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah). Mereka mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Misalnya, al-Karakhi dalam mazhab Hanafi dan ar-Rafi’I dan an-Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
F.             Macam-Macam Ijtihad
Para ulama membagi ijtihad kedalam dua bagian yaitu:
1)             Ijtihad Sempurna, yaitu teknik ijtihad yang hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang betul-betul mampu menggali hukum dan menetapkan hukum dari sumber aslinya secara independen dalam arti mereka tidak terpengaruh oleh metodologi ijtihad pendahulunya dan betul-betul menggali hukum dengan metode sendiri yang orisinil, seperti yang telah dilakukan oleh para ulama Sahabat, Tabi'in dan para imam Madhhab seperti imam Maliki, Hanafi, Shafi'i dan Ahmad bin Hambal dan termasuk juga al-Auza'i, al-Thabari dan imam Ja'far Sadiq dari golongan Shi'ah.
2)              Ijtihad Pengembangan atau teknik ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang hanya mampu menerapkan dan mengembangkan metodologi atau teori-teori hukum yang dihasilkan oleh pemula-pemulanya, seperti yang dilakukan oleh Abu Yusuf al-Anshari, Muhammad bin Hasan al-Shaibani, Abul Hasan al-Karkhi dan Muhammad bin Abi Sahal al-Sarkhisi dari madhhab Hanafi, Abdullah Ziyad bin Abdurrahman al-Qurtuby, Isa bin Dinar Abd Rahman bin Qosim al-'Idqi dan Muhammad bin yahya al-Andalusi dari madhhab maliki, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abd Allah al-Juwainy, Abu Ibrahim al-Muzanni, Abu al-Qasim al-Rafi'i dan Abu Zakaria al-Nawawi dari madhhab Shafi'i, serta Ahmad bin Muhammad al-Barwasi dari madhhab Hambali.

G.           Jenis-Jenis Ijtihad 

1.              Ijma' (kesepakatan) : Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh umat. 
2.              Qiyas : Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan sebelumnya. 
3.              Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah adalah cara menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya. 
4.              Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat. 
5.              Istishab : Pengertian istishab adalah  tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya. 
6.              Urf : Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an dan Hadist. 
7.              Istihsan : Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. 

H.            Tujuan dan Fungsi Ijtihad

-            Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada Allah di tempat dan waktu tertentu.
-            Fungsi Ijtihadadalah untuk mendapatkan solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad sangat penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid

I.               Kedudukan Ijtihad
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahanpun  semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hokum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan assunnah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fikih terdapat dua golongan :
a.              Golongan pertama berpendapat bahwa tiap tiap mujtahid adalah benar,dengan alas an karna dalam masalah tersebut allah SWT tidak menentukan hokum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu,wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hokum dalam suatu masalah adalah karena berbedanya jangkauan pada mujtahid.
b.              Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hokum allah.  Sedangkan yang tidak cocok dengan jangkauan hokum allah maka dikategorikan salah. Golongan ini beralasan bahwa allah telah meletakkan hokum tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan,hanya saja terkadang para mujtahid dapat menjangkaunya dan kadang tidak. Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam syafi’i.

BAB III
PENUTUP
a.              Kesimpulan
Ijtihad adalah suatu usaha sungguh sungguh dari seorang ahli hokum  untuk menentukan hokum suatu permasalahan yang belum memiliki hokum. Orang yang melakukan ijtihad dI sebut mujtahid. Adapun hokum ijtihad ada tiga yaitu fardu a’in,fardu kifayah,dan sunnah yang dikelompokkan berdasarkan  keadaan masalah.
b.             Penutup
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
Daftar Pustaka
http://holiqs.blogspot.co.id/2014/12/makalah-tingkatan-mujtahid_60.html
Suparta,MA,Dr.H. Mundzier,Zainuddin,MA,Drs.H.Djedjen.2009.Pendidikan Agama Islam fikih.Semarang : PT. karya toha Putra.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dapat didownload disini

Cara download:
1. Klik tulisan 'disini' di atas
2. Silang laman yang tidak perlu, tunggu loading sebentar
3. Tekan 'Skip Ad'
4. Download file drive di tanda unduh (panah ke bawah ↓) di pojok kanan atas laman google drive
5. Selesai, tinggal cek di folder download

❤❤❤ 
With Love,
Fina Sarah Adhari

Twitter: finasaraha_13

You May Also Like

0 comment

What do you think about this post?