PENDAHULUAN
Hukum dalam
masyarakat manapun adalah bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah
sebuah sistem yang ditegakkan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun
hak-hak masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter
dan ruang lingkup sendiri. Sama halnya Islam memiliki sistem hukum sendiri yang
dikenal dengan fiqh. Hukum Islam bukanlah hukum murni dalam pengertiannya yang
sempit; ia mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik dan
ekonomi. Ia bersumber dari wahyu Illahi. Wahyu menentukkan norma dan konsep
dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhada adat dan
sistem hukum kesukuan Arab pra-Islam.
Sekarang,
dalam melakukan ijtihad, ruang lingkup qiyas haruslah diperluas untuk
menjadikannya lebih praktis dan mujarrab untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan. Untuk membuka pintu ijtihad, yang merupakan kebutuhan yang
mendesak saat ini, ijtihad harus dilaksanakan oleh para ahli yang berkompeten
dengan bekerja sama dengan pemerintah (yang Islamis) sehingga ia dapat
diberlakukan menjadi perundang-undangan; kalau tidak ia akan tetap tinggal
bersifat teoritis semata-mata dan perbenturan antara para ahli dan pemerintah
akan terus berlangsung. Karena ijma’ memantapkan dirinya hanya secara
bertahap dan hampir secara tak terasa bersamaan dengan jalannya waktu. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan menyajikan mengenai ijtihad dalam
hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1)
Apa itu ijtihad ?
2)
Apa saja syarat untuk menjadi seorang mujtahid ?
3)
Bagaimana kedudukan ijtihad dalam hukum islam ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui apa itu ijtihad dan syarat menjadi seorang mujtahid.
2.
Agar bisa memahami bagaimana cara penetapan hokum bagi suatu
permasalahan.
3.
Agar dapat mengetahui sumber hokum islam selain Al-Qur’an dan Assunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada
yajtahidu ijtihadan yang artinya mengerahkan segala kemampuan untuk
menanggung beban.Menurut bahasa, ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam
mencurahkan pikiran. Sedangkan pengertian ijtihad secara istilah ialah
mencurahkan pikiran dan tenaga untuk menetapkan sebuah hukum. Oleh sebab itu,
tidak bisa dinamakan ijtihad jika unsur-unsur kesulitan di dalam sebuah
pekerjaan itu tidak ada.Sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis
adalah Ijtihad.
Sedangkan di kalangan ulama ijtihad ini khusus digunakan
dalam pengertian usaha yang sungguh sungguh dari seorang ahli hokum (fuqaha)
untuk mengetahui hokum syariat islam. Jadi dengan demikian ijtihad adalah
perbuatan menggali hokum syar’iyyah dari dalil dalilnya yang terperinci dalam
syari’at.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai usaha sungguh sungguh
dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui ataumenetapkan hokum syari’at.
B.
Hukum Ijtihad
Menurut
Syeikh muhamad Khudlari bahwa hokum ijtihad itu dapat di kelompokkan menjadi :
a.
Wajib a’in,yaitu
seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan hilang
sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia
sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.
Wajib
kifayah,yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya,sedang selain dia masih ada mujtahid lain.
Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hokum sesuatu
tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Artinya ijtihad satu
orang telah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Namun bila tak seorang pun
mujtahid melakukan ijtihadnya,maka dosalah semua mujtahid tersebut.
c.
Sunnah, yaitu
ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
C.
Peranan Ijtihad
Banyak masalah yang
secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Assunnah.
Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat Al-Qur’an maupun assunnah yang memberikan
isyarat mengenai ijtihad ini,antara lain :
Firman
Allah SWT dalam (QS.An-nisa /4 : 10)
Artinya
:
“Sungguh,kami telah menurunkan kitab
(Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa
kebenaran,agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan
allah kepadamu.”
Ijtihad
memiliki peranan yang sangat pentingdalam penetapan status hokum suatu masalah
yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam alqur’an maupun
assunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat di
pecahkan karena tidak ditemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.
Dengan ijtihad masalah masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status
hukumnya. Seperti tentang niat shalat. Para ulama sepakat bahwa shalat tidak
sah tanpa niat. Mazhab maliki dan syafi’I menetapkan bahwa niat merupakan salah
satu syarat sah shalat.
Hasil
ijtihad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya
mungkin berbeda. Hal ini antara lain disebabkan adanya perbedaan sudut pandang
terhadap masalah yang dicarikan hukumnya,kondisi masyarakat,dan latar belakang
disiplin pengetahuan yang dimiliki berbeda
D.
Syarat Syarat Bagi mujtahid
Ijtihad itu tidak bisa
dilakukan oleh setiap oang. Seseotang dipebolehkan melakukan ijtihad bila
syarat syarat dipenuhi. Syarat syarat tersebut terbagi menjadi dua yaitu syarat
umum dan syarat khusus dan syarat pelengkap.
a.
Syarat umum
1)
Baligh
2)
Berakal sehat
3)
Memahami masalah
4)
Beriman
b.
Syarat khusus
1)
Mengetahui ayat
ayat alQur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis,yang dalam hal
ini ayat ayat ahkam,termasuk asbabun nuzl,musytarak dan sebagainya.
2)
Harus mampu menguasai bahasa arab
sedalam-dalamnya seperti ilmu nahwu, syaraf, bayan, balaghah,’urudh,dan qawafi.
Karana setiap mujtahid itu dasar hukumnya mengambil langsung dari Alqur’an yang
berbahasa arab untuk bias mengetahui apa yang terkandung di dalam kalamullah
tsb. Dan mustahil bagi seseorang bisa menguasai ilmu tersebut jika tiada
cerdas otaknya.
3)
Harus mampu memilah-memilahkan
ayat alquran dan mahir dalam menentukan yang mana diantara ayat-ayat tersebut
yang umum sifatnya,yang khusus,yang mujmal, yang mubayyan,yang mutlak,yang
muqayyat,yang zahir, yang nash, yang mansukh, yang nasikh,yang muhakkam, yang
mutasyabihah dan yang lain-lainnya.kalau dia tiada cerdas dan pintar.
4)
Harus mampu ketika berijtihat
terbayang tentang isi kandungan 30juz dari alquran, yang mana di dalam alquran
tersebut ada perintah larangan, berita, dan hukum. Karna jika dia tiada tau
bahwa itu adalah mengandung cerita tapi di buatnya menjadi sebuah hukum
hancurlah seluruh prilaku sendi-sendi kehidupan manusia.
5)
Harus mengetahui asbabul nuzul ayat, karna
setiap ayat turun itu mempunyai kejadian yang terjadi di masa rasul, bukan di
turunkan sekaligus 30 juz, karna turunnya ayat untuk menjawab situasi yang
terjadi di sekeliling rasul,maka jika seseorang tiada mengetahui asbabul
nujul tersebut mustahil dia bisa berfatwa dengan benar, seumpamanya.
6)
Harus menguasai kitabussittah sekurang-kurangnya.yaitu shahih bukhari,muslim,turmizhi, sunan
nasai, sunan abi daun, dan sunan ibnu majjah, selain itu juga masih banyak lagi
hadis-hadis yang lain seperti musnad ibnu hambal, daraqudni,ibnu hibban.
Thabrani dllnya.
7)
Harus bisa mengetahui pangkat
setiap hadis-hadis yang terdapat di berbagai kitab-kitab hadis yang ada , mana
hadis yang palsu yang di buat oleh musuh islam, atau mana yang shahih, yang
dhaif, dllnya.
8)
Harus mengetahui mana saja hukum
yang telah sepakat para ulama. Karna jika telah sepakat para ulama dalam satu
masa maka telah meluaslah paham-paham mereka dan telah banyak di terbitkan kitab-kitab
mereka jika berlainan maka bisa terjadi kekacauan.
9)
Mengetahui ilmu
mantiq.
c.
Syarat-syarat
Pelengkap
Diantara
syarat pelengkap yang dimaksud adalah:
1.
Tidak ditemukan
dalil qat’i dalam suatu kasus hukum, baik berupa dalil nas atau ijma’ atau
masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
2.
Mengetahui
masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama.
3.
mengetahui bahwa
hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak
E.
Tingkatan
Tingkatan Mujtahid
a.
Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil
Mujtahid
Mustaqil adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka
mempunyai otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah,
melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan
metode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid
lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam
tingkatan ini adalah seluruh fuqaha dari kalangan sahabat, fuqaha dari kalangan
tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqaha mujtahid
seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin
Sa’ad, Sufyan ats-Tsauriy, dan Abu Tsaur. Namun yang mazhabnya tetap masyhur
hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’i,
dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b.
Mujtahid Muntasib
Mujtahid
Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun
secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama
dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk
dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (mujtahid dari mazhab Syafi’i), at-Tahawi
(mujtahid dari mazhab Hanafi), al-Khiraqi (mujtahid dari mazhab Hambali) dan
Abdurrahman ibnu Qosim (mujtahid dari mazhab Maliki).
c.
Mujtahid Mazhab
Mujtahid
Mazhab ialah mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik dalam masalah ushul
ataupun furu’. Peranan mereka sebatas melakukan istinbat hukum terhadap
masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid mazhab tidak
berhak berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam
mazhab yang dipegangnya. Menurut mazhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa
dari mujtahid mazhab. Misalnya, adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul Hasan
adalah mujtahid mazhab hanafi dan Imam al-Muzani adalah mujtahid mazhab
syafi’i.
d.
Mujtahid Murajjih
Mujtahid Murajjih yaitu mujtahid yang
tidak mengistinbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum-hukum asal) akan tetapi
hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih
salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah). Mereka mengikatkan diri
dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber
hukum dan dalalah-dalalahnya. Misalnya, al-Karakhi dalam mazhab Hanafi dan
ar-Rafi’I dan an-Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
F.
Macam-Macam
Ijtihad
Para
ulama membagi ijtihad kedalam dua bagian yaitu:
1)
Ijtihad
Sempurna, yaitu teknik ijtihad yang hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang
yang betul-betul mampu menggali hukum dan menetapkan hukum dari sumber aslinya
secara independen dalam arti mereka tidak terpengaruh oleh metodologi ijtihad
pendahulunya dan betul-betul menggali hukum dengan metode sendiri yang
orisinil, seperti yang telah dilakukan oleh para ulama Sahabat, Tabi'in dan
para imam Madhhab seperti imam Maliki, Hanafi, Shafi'i dan Ahmad bin Hambal dan
termasuk juga al-Auza'i, al-Thabari dan imam Ja'far Sadiq dari golongan Shi'ah.
2)
Ijtihad Pengembangan atau teknik ijtihad yang
dilakukan oleh ulama yang hanya mampu menerapkan dan mengembangkan metodologi
atau teori-teori hukum yang dihasilkan oleh pemula-pemulanya, seperti yang
dilakukan oleh Abu Yusuf al-Anshari, Muhammad bin Hasan al-Shaibani, Abul Hasan
al-Karkhi dan Muhammad bin Abi Sahal al-Sarkhisi dari madhhab Hanafi, Abdullah
Ziyad bin Abdurrahman al-Qurtuby, Isa bin Dinar Abd Rahman bin Qosim al-'Idqi
dan Muhammad bin yahya al-Andalusi dari madhhab maliki, Abu al-Ma’ali Abd
al-Malik bin Abd Allah al-Juwainy, Abu Ibrahim al-Muzanni, Abu al-Qasim
al-Rafi'i dan Abu Zakaria al-Nawawi dari madhhab Shafi'i, serta Ahmad bin
Muhammad al-Barwasi dari madhhab Hambali.
G.
Jenis-Jenis Ijtihad
1.
Ijma' (kesepakatan) : Pengertian ijma adalah
kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya
keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti oleh seluruh umat.
2.
Qiyas : Pengertian qiyas adalah
menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara baru
yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab,
manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi
sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan
sebelumnya.
3.
Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah adalah
cara menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan
manfaatnya.
4.
Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah adalah
memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
5.
Istishab : Pengertian istishab adalah
tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang
mengubahnya.
6.
Urf : Pengertian urf adalah tindakan
dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat
dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an dan
Hadist.
7.
Istihsan : Pengertian istihsan adalah
tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
H.
Tujuan dan Fungsi Ijtihad
-
Tujuan
Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada
Allah di tempat dan waktu tertentu.
-
Fungsi
Ijtihadadalah untuk mendapatkan
solusi hukum, jika terdapat suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya, namun
tidak dijumpai pada Al-Qur'an dan Hadist. Fungsi Ijtihad sangat
penting karena telah diakui kedudukan dan legalitasnya dalam islam, namun tidak
semua orang dapat melakukan ijtihad, hanya dengan orang-orang tertentu yang
dapat memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid
I.
Kedudukan
Ijtihad
Ijtihad
sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan
permasalahanpun semakin kompleks,
sehingga perlu adanya tatanan hokum yang sesuai dengan perkembangan zaman
tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan assunnah. Tentang kedudukan hasil
ijtihad dalam masalah fikih terdapat dua golongan :
a.
Golongan pertama
berpendapat bahwa tiap tiap mujtahid adalah benar,dengan alas an karna dalam masalah
tersebut allah SWT tidak menentukan hokum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh
karena itu,wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan
hokum dalam suatu masalah adalah karena berbedanya jangkauan pada mujtahid.
b.
Golongan kedua
berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu yaitu hasil ijtihad yang cocok
jangkauannya dengan hokum allah.
Sedangkan yang tidak cocok dengan jangkauan hokum allah maka
dikategorikan salah. Golongan ini beralasan bahwa allah telah meletakkan hokum
tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan,hanya saja terkadang para
mujtahid dapat menjangkaunya dan kadang tidak. Demikian pendapat para jumhur
ulama, termasuk di dalamnya imam syafi’i.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Ijtihad
adalah suatu usaha sungguh sungguh dari seorang ahli hokum untuk menentukan hokum suatu permasalahan
yang belum memiliki hokum. Orang yang melakukan ijtihad dI sebut mujtahid.
Adapun hokum ijtihad ada tiga yaitu fardu a’in,fardu kifayah,dan sunnah yang
dikelompokkan berdasarkan keadaan
masalah.
b.
Penutup
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi
manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap
kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
Daftar Pustaka
http://holiqs.blogspot.co.id/2014/12/makalah-tingkatan-mujtahid_60.html
Suparta,MA,Dr.H.
Mundzier,Zainuddin,MA,Drs.H.Djedjen.2009.Pendidikan Agama Islam fikih.Semarang
: PT. karya toha Putra.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dapat didownload disini
Cara download:
1. Klik tulisan 'disini' di atas
2. Silang laman yang tidak perlu, tunggu loading sebentar
3. Tekan 'Skip Ad'
4. Download file drive di tanda unduh (panah ke bawah ↓) di pojok kanan atas laman google drive
5. Selesai, tinggal cek di folder download
❤❤❤
With Love,
Fina Sarah Adhari
Ig: finasaadha
Twitter: finasaraha_13
0 comment
What do you think about this post?