Mika, My Bestfriend

by - December 15, 2014


Mika, My Bestfriend © Fina Sarah Adhari

Inspirated by the song Breathe by Taylor Swift

This story is pure mine, don’t copy, don’t flame!



Namaku Rila, saat ini aku bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di sebuah kota kecil. Aku sangat beruntung karena memiliki seorang sahabat yang sangat kusayangi dan aku yakin dia juga menyayangiku. Kami bertemu saat kelas 8 SMP, dia sangat baik dan aku nyaman dekat dengannya. Aku juga berteman baik dengan beberapa teman di kelas, tapi hanya dia yang paling dekat denganku, namanya Mika. Sangat lucu mengingat nama kami yang sama-sama terdiri dari empat huruf dan posisi huruf vocal yang sama.
Hingga kelas 1 SMA ini, aku masih bersahabat dekat dengannya. Kami selalu melewati segalanya bersama, aku sendiri tidak percaya bagaimana aku bisa sekuat ini dengannya.
“Rila, nanti sore temani aku ke taman baca ya, aku mau pinjam buku.”  Oh itu dia, gadis dengan rambut tebal sepunggung berwarna hitam, Mika.
“Ya, pasti aku temani.” Aku menyutujui ajakannya karena aku juga ingin meminjam buku. Dia pasti ingin membaca banyak novel dan menonton banyak film, ini karena ujian semester baru saja selesai, memangnya siapa yang mau menyianyiakan liburan?
“Aku juga mau minta film yang terbaru di Zusha, temani aku ke kelasnya ya. Ahh, akhirnya semester selesai juga!” dia meregangkan otot tangannya seperti baru bangun tidur. Oh dia selalu seperti itu, dan apa yang ku katakan tadi benar, kan?
***
Akhirnya aku sampai di rumahku, saat ini sudah pukul tujuh malam, huh, quality time-ku dengan Mika memang selalu menyenangkan.
Aku berbaring di ranjangku untuk mengistirahatkan diri—setelah sebelumnya mandi— dan tak lama setelahnya aku tertidur pulas.
“Hoam…” aku terbangun, dan ketika kulihat jam menunjukkan pukul dua belas lebih beberapa menit—aku malas memerhatikannya. Kemudian aku melihat ke atap kamarku yang memakai kaca, langit masih gelap dan ini berarti masih tengah malam. Padahal, rasanya seperti aku sudah tidur seharian.
Aku duduk di tepi ranjangku dan melihat kembali foto-fotoku dengan Mika tadi sore, uh, kami seperti kembaran saja. Kembar tapi tak sama, hahaha. Senyumku pudar saat melihat foto terakhirku dengannya, dia tampak berbeda. Itu membuatku sedih dan takut. Selanjutnya aku memilih untuk menulis diary tentang hari ini, aku mencoba menghilangkan rasa takutku tentang foto terakhirku dengan Mika.
Aku menulis banyak hal tentang kami, jangan berfikir aku yuri (istilah cewek suka cewek dari Jepang) karena kalian salah besar. Aku dan dia sama-sama normal, aku juga punya seorang cowok yang aku suka sejak kelas 8 SMP, sementara Mika sudah punya pacar –seorang cowok pastinya.
Aku hanya sangat menyayanginya, dia cukup berjasa bagi hidupku, karena aku ini sebenarnya anak yang pemalu, tetapi dengannya yang cukup tak tahu malu, aku menjadi agak berani, hehehe. Ah, sial, aku jadi terbayang wajah Mika di foto itu, sangat membuatku takut, tidak-tidak, dia tidak berpose seperti zombie atau dia mengeluarkan darah dari matanya, tidak seperti itu. Sebenarnya dia tersenyum, tapi—
“Cause I’m happy clap along if you feel—” aku mengambil hpku dan menggeser tombol ‘answer’ di layar smartphone kesayanganku. Nama si penelpon yang tertera di layar hpku adalah Vibi, dia adalah tetangga Mika, rumahnya berbatas lima rumah dengan rumah Mika. Yang membuatku bingung adalah apa maksudnya menelfonku tengah malam begini, kulihat jam lagi dan ini sudah hampir pukul dua malam—dini hari.
Halo.” Aku dengar suaranya panik. Dan selanjutnya aku tak sanggup untuk bernafas dan kucoba baringkan tubuhku di ranjang. Oh ayolah, aku sudah temukan jawaban dibalik perasaan takutku saat melihat foto terakhirku dengan Mika.
Rila, kuharap kau bersabar menerima kabar ini, dan aku bersumpah ini adalah kabar teburuk yang pernah kau dengar sampai saat ini…. Rumah Mika… terbakar, diduga karena kompor yang meledak dan saat ini sedang dipadamkan oleh tiga mobil pemadam kebakaran, untung apinya tidak merambat ke rumah lain karena lebih dulu dipadamkan. Tapi, ini sangat buruk, Mika dan keluarganya masih di dalam rumah!”
Itu pasti Mika yang sedang memasak air untuk membuat kopi, ia biasa membuat kopi untuk menemaninya membaca buku. Buruknya, dia sering bercerita padaku bahwa dia sering tertidur ketika sedang memasak air. Tapi aku tak menyangka, kejadian kali ini benar-benaar membawa petaka baginya. Ini memang takdir Tuhan, itu memang sudah waktunya Mika untuk pergi. Tapi apa yang bisa kulakukan? Pergi ke rumahnya sekarang? Tak mungkin karena rumahku dan rumahnya sangat jauh. Yang aku bisa lakukan saat ini adalah berdoa kepada Tuhan.
Jadi inilah kenapa aku takut melihat foto terakhirku dengan Mika, walaupun kami berdua tersenyum di foto itu, tapi itu adalah foto terakhirku dengannya, dan tak akan ada lagi.
Ini sangat sulit bagiku, sampai-sampai rasanya aku tak bisa bernafas. Tapi aku harus tetap bernafas, bersama atau tidak bersama Mika.
***

FIN

You May Also Like

0 comment

What do you think about this post?